Cerpen Cinta Pertama
TETAP
DI HATI
“Selamat
datang di Universitas Diponegoro!” Teriak Nando persis di depan telingaku. Aku
yang kaget langsung menepuk punggung Nando dan memarahinya,“Sialan, lo! Lo mau
bikin temen paling tampan lo ini budek
ya?” Sambil tertawa Nando menjawab “Ya maap! Ehh sejak kapan lo tampan,
boy? Lo kan anak cupu yang kesasar masuk kampus ini.” Kami tertawa, aku kejar
Nando sampai ruang kelas.
Kenalkan
namaku Diki tapi sering dipanggil Boy oleh
teman-temanku. Hari ini adalah hari pertama diriku memijakkan kaki di
perguruan tinggi idolaku ini. Butuh perjuangan keras untuk sampai di sini.
Untuk itu aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Harus banyak menimba
ilmu demi melihat orangtuaku bangga esok hari.
Berhari-hari
aku jalani kehidupan di kampus. Suasana di kantin kampus tak pernah berubah,
selalu ramai. Namun pada suatu hari. Di sela-sela hiruk pikuk kantin. Pandanganku
hanya tertuju oleh seorang gadis berkulit putih, rambut panjang bergelombang
dan berwajah manis yang duduk di bangku kantin paling pojok. Semakin lama aku
menatap, hatiku semakin berdegup kencang. Entah apa yang kurasakan. Perasaan
apa ini?
“Woe!”
Lagi-lagi Nando yang datang dari belakang mengagetkanku. Dengan raut muka kesal
aku kembali memarahinya,“Elo lagi! Lo emang nggak kasihan ya sama jantung gue?”
“Habisnya
lo dipanggil dari jauh nggak denger-denger sih, Boy. Lagi sibuk ngeliatin apa
sih?” Nando mulai penasaran dengan tingkah lakuku yang kembali fokus ke gadis
tersebut.
“Yaelahh!
Lo naksir sama Nana ya?”
“Nana?
Nana siapa?” Aku balik bertanya ke Nando.
“Iya,
cewek yang lo liatin terus itu kan Nana. Temen satu SMA kita dulu. Dia dulu
orangnya memang pendiam. Jadi dia nggak terlalu terkenal di sekolah.
Cantik-cantik putri malu. Itu julukan buat dia waktu SMA. Masak lo nggak tau,
Boy?”
Aku
hanya bungkam mendengar omongan Nando. Dalam hati aku berfikir. Betapa bodohnya
diriku, ada bidadari cantik satu SMA tapi aku nggak tahu sama sekali waktu itu.
Pukul 09.00 WIB jam pelajaran di mulai. Aku dan Nando kemudian pergi meninggalkan
kantin dan bergegas menuju ke kelas.
Memasuki
tiga bulan masa kuliah, suasana berubah ketika musim hujan datang lebih awal
daripada biasanya. Hawa dingin di kampus sore itu mulai merasuk ke dalam
tubuhku. Aku mulai berlari menuju ke parkiran.
“Aduhh
lupa bawa mantel lagi! Terpaksa nunggu sampai hujannya reda kalo gini caranya.”
Sekitar setengah jam aku berdiam diri di parkiran kampus sendirian. Sambil
bertanya-tanya dalam hati kapan air dari langit ini akan berhenti turun ke
bumi. Dan tiba-tiba terdengar suara manis seorang gadis memanggil namaku.
“Nggak
bawa mantel ya, Dik?”
Suaranya
begitu manis menyentuh hatiku. Segera kutolehkan pandanganku mencari asal suara
tersebut. Betapa kagetnya diriku ketika tahu bahwa yang bertanya kepadaku adalah
Nana.
“Hei!
Kok malah bengong sih, nanti kesambet loh!” Seru Nana yang membuat aku menjadi
gelalapan. Aku jadi salah tingkah. Serasa ingin melontarkan kata tapi tak
sanggup aku lakukan. Ada apa aku ini?
“Hahaha!
Ngga usah gugup kek gitu kali, Dik! Kayak liat artis aja.” Senyuman Nana yang
begitu manis membuat hatiku semakin bergetar. Nampaknya wajahku yang memerah
membuat Nana tahu kalau aku sedang gugup sekarang.
“Ehh..
Enggak kok, Na!” Jawabku singkat dengan muka tertunduk.
Suasana
kemudian hening sejenak. Kemudian aku memberanikan diri untuk membuka
percakapan. Masih dengan rasa gugup tapi aku mencoba memperlihatkan jiwa
laki-lakiku.
“Kamu
Putri Malunya SMA 3 dulu ya?”
“Iya,
tapi dulu. Sekarang mah udah bukan Putri Malu lagi. Aku ikut organisasi di
sini. Organisasi yang membuatku berubah menjadi lebih berani bicara dan
berpikir dewasa. Bosan kali jadi anak pemalu terus, hehe!” jawab Nana panjang,
kemudian dia lanjut bertanya.
“Ehh
kamu ngga berubah ya, Dik? Masih takut kalo ketemu sama cewek?” Nana balik
bertanya ke aku masih dengan senyuman manisnya. Ternyata dia kenal aku waktu
SMA dulu.
Kalau
Nando mengatakan aku ini adalah anak cupu. Itu sebenarnya memang fakta. Aku
dari dulu tidak pernah berani dekat dengan yang namanya perempuan. Beraninya hanya
melihat perempuan dari kejauhan tanpa mengenali siapa dia.
Aku
hanya terdiam tanpa menjawab pertanyaan Nana. Nana kemudian kembali berkata.
Kali ini perkataannya membuat aku lebih terkejut lagi.
“Ini
masih deres banget, Dik. Ayo bareng aku aja. Aku ada mantel ini buat berdua.
Sepeda motormu titipan Pak Satpam aja! Kosmu kan juga bersebelahan sama punyaku.”
Dalam
pikiranku, ini beneran apa cuma mimpi? Kenapa aku nggak tahu ternyata kos Nana
deket sama kos-kosanku? Kenapa Nana malah tahu? Bodoh sekali diriku. Kali ini,
gadis cantik yang selalu membuat jantungku berdebar berdiri di depanku.
Menawarkan untuk berboncengan denganku. Tanpa pikir panjang, aku mengeluarkan
kata yang sebenarnya tidak ingin aku katakan tapi hatiku benar-benar ingin
melakukan.
“Oke,
ide bagus itu!”
Sebenarnya
aku malu mengatakan hal tersebut. Ingin aku memutar ulang waktu. Tapi bagaimana
lagi, nasi telah menjadi bubur. Akhirnya, untuk pertama kalinya aku merasakan
bagaimana rasanya berboncengan dengan seorang gadis. Di perjalanan Nana terus
bercerita. Aku terkadang hanya tertawa kecil mendengarkan ceritanya.
Setelah
kejadian itu, akhirnya kami memutuskan untuk pulang pergi ke kampus sama-sama.
Kami akrab dengan cepat. Aku juga sering mengantarkan Nana membeli barang
keperluan Nana, begitu pula sebaliknya. Tidak ada lagi rasa grogi, yang ada
sekarang adalah rasa nyaman. Tanpa disangka, kami ternyata memiliki banyak
sekali kesamaan. Mulai dari makanan, warna kesukaan, musik, dll. Sampai pada
akhirnya aku merasakan jatuh cinta untuk pertama kalinya. Jatuh cinta kepada
gadis manis, cantik, dan baik hati. Itulah Nana.
Pada
salah satu malam minggu di bulan April aku jadian dengan Nana. Betapa
bahagianya hari-hariku kulewati dengan cinta pertamaku. Jatuh cinta memang
membuat hidup serasa lebih berwarna. Berharap dia yang akan menjadi pelabuhan
pertama dan tekahirku. Nana adalah gadis yang paling dewasa yang pernah aku
temui. Dia paham betul tentang diriku. Semakin hari aku semakin nyaman berada
didekatnya, begitu pula sebaliknya.
Tak
terasa kami sudah berjalan satu tahun. Suka duka telah kami lewati bersama. Namun
hal buruk akhirnya datang sesaat setelah Nana meniup lilin kue our first
anniversary di rumahnya. Hidung Nana mengeluarkan darah.
“Loh,
say! Hidungmu kenapa ngluarin darah?”
Nana
kemudian mengusap darah di hidungnya dan tiba-tiba dia pingsan.
“Nana
sayang! Bangun, na! Ada apa kamu?”
Saat
itu rumah sepi. Hanya ada aku dan Nana. Tanpa pikir panjang aku langsung
membawa Nana ke rumah sakit. Sampai di rumah sakit dokter langsung dengan sigap
memeriksa kondisi Nana. Setelah memeriksa, dokter membawaku menuju ke
ruangannya. Dia menyodorkan selembar kertas kepadaku. Dengan perasaan tegang
dan gugup aku coba membacanya perlahan.
“Kanker
Otak! Stadium Akhir!” aku berteriak melihat tulisan itu.
“Iya.
Sebenarnya penyakit ini sudah lama diderita Nana. Tapi dia enggan diobati lebih
serius dan meminta untuk merahasiakannya ke orang lain termasuk kamu dan
orangtuanya.”
“Apa
dia bisa sembuh, Dok?”
“Sangat
kecil kemungkinan untuk dia selamat.”
Aku
keluar ruangan dalam dengan muka lesu. Aku lihat kedua orantua Nana kini berada
dalam ruangan melihat kondisi Nana. Sebenarnya aku sering melihat Nana pusing,
jatuh sendiri ketika berjalan, dan mimisan tapi tidak sampai pingsan. Tetapi setiap
aku suruh dia berobat, dia tetap tidak mau dan berkata kalau dia baik-baik
saja. Ya Allah, mengapa engkau beri kekasihku cobaan seperti ini. Saat aku
benar-benar bahagia dengannya. Saat aku
mantap ingin segera menikahinya. Hari itu hujan sangat deras. Seakan-akan tahu
apa isi hatiku. Aku sangat terpukul dengan keadaan ini, begitupun dengan
orangtuanya. Aku tidak ingin kehilangan cinta pertamaku.
Hari-hari
berikutnya aku temani Nana untuk mendalami kemoterapi. Aku menjaga Nana 24 jam
tanpa mempedulikan kondisiku. Yang terpenting adalah kesembuhan Nana. Aku yakin
dia bisa sembuh. Nana juga yakin walaupun kulihat keadaannya semakin hari
semakin parah. Orangtua dan teman-teman Nana juga sering menjenguknya, memberi
motivasi untuk Nana. Tapi kini aku lihat Nana tinggal tulang dibungkus kulit.
Wajahnya layu dan berkeriput. Hingga suatu malam Nana mengajakku untuk menuju
ke taman Rumah Sakit.
“Dik,
terimakasih ya buat semuanya. Kamu orang paling baik yang pernah aku kenal.”
Nana berbicara dengan nada pelan.
“Iya
Nana sayang. Kamu juga orang paling cantik, baik, sopan, pinter, pokoknya apa
aja deh. Jadi kamu harus tetep kuat ya. Kamu pasti bisa sembuh.” Jawabku sambil
menahan tangis yang sebenarnya ingin aku keluarkan sejak tadi.
“Dik,
kamu baik-baik ya. belajar yang bener. jangan kecewain orangtuamu.”
Entah
kenapa aku merasa aneh. Kenapa Nana berbicara seperti itu. Rasa sesak dihatiku
kian menggebu. Aku bertanya-tanya kepada Tuhan. Apakah ini sudah tiba saatnya
engkau mengambil Nanaku? Aku pasrah dengan semuanya Ya Allah.
“Dik,
aku lelah. Aku pinjem bahumu buat tidur boleh nggak?” pinta Nana kepadaku.
“Oke,
5 menit saja yaa?” tawarku ke Nana.
Sudah
lebih dari lima menit. Aku coba bangunkan Nana. Tapi dia tidak bangun-bangun.
Aku lihat wajahnya kali ini berbeda. Tampak bercahaya dan tenang. Air mata
perlahan mulai membanjiri pipiku. Ini benar-benar sudah berakhir. Nana
benar-benar pergi jauh. Meninggalkanku menuju dimensi lain. Kenapa secepat ini
Ya Allah?
Berat
bagiku, berat pula bagi orangtua Nana. Aku tidak akan pernah melupakan Nana.
Cinta pertamaku. Dia akan tetap hidup di hatiku. Di lubuk hati yang paling
dalam.
“Semoga
kamu tenang disana, Na!”
2 comments:
dicoba :D
good
Post a Comment