Friday, 14 November 2014

Cerpen Cinta Pertama

TETAP DI HATI
“Selamat datang di Universitas Diponegoro!” Teriak Nando persis di depan telingaku. Aku yang kaget langsung menepuk punggung Nando dan memarahinya,“Sialan, lo! Lo mau bikin temen paling tampan lo ini budek  ya?” Sambil tertawa Nando menjawab “Ya maap! Ehh sejak kapan lo tampan, boy? Lo kan anak cupu yang kesasar masuk kampus ini.” Kami tertawa, aku kejar Nando sampai ruang kelas.
Kenalkan namaku Diki tapi sering dipanggil Boy oleh  teman-temanku. Hari ini adalah hari pertama diriku memijakkan kaki di perguruan tinggi idolaku ini. Butuh perjuangan keras untuk sampai di sini. Untuk itu aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Harus banyak menimba ilmu demi melihat orangtuaku bangga esok hari.
Berhari-hari aku jalani kehidupan di kampus. Suasana di kantin kampus tak pernah berubah, selalu ramai. Namun pada suatu hari. Di sela-sela hiruk pikuk kantin. Pandanganku hanya tertuju oleh seorang gadis berkulit putih, rambut panjang bergelombang dan berwajah manis yang duduk di bangku kantin paling pojok. Semakin lama aku menatap, hatiku semakin berdegup kencang. Entah apa yang kurasakan. Perasaan apa ini?
“Woe!” Lagi-lagi Nando yang datang dari belakang mengagetkanku. Dengan raut muka kesal aku kembali memarahinya,“Elo lagi! Lo emang nggak kasihan ya sama jantung gue?”
“Habisnya lo dipanggil dari jauh nggak denger-denger sih, Boy. Lagi sibuk ngeliatin apa sih?” Nando mulai penasaran dengan tingkah lakuku yang kembali fokus ke gadis tersebut.
“Yaelahh! Lo naksir sama Nana ya?”
“Nana? Nana siapa?” Aku balik bertanya ke Nando.
“Iya, cewek yang lo liatin terus itu kan Nana. Temen satu SMA kita dulu. Dia dulu orangnya memang pendiam. Jadi dia nggak terlalu terkenal di sekolah. Cantik-cantik putri malu. Itu julukan buat dia waktu SMA. Masak lo nggak tau, Boy?”  
Aku hanya bungkam mendengar omongan Nando. Dalam hati aku berfikir. Betapa bodohnya diriku, ada bidadari cantik satu SMA tapi aku nggak tahu sama sekali waktu itu. Pukul 09.00 WIB jam pelajaran di mulai. Aku dan Nando kemudian pergi meninggalkan kantin dan bergegas menuju ke kelas.
Memasuki tiga bulan masa kuliah, suasana berubah ketika musim hujan datang lebih awal daripada biasanya. Hawa dingin di kampus sore itu mulai merasuk ke dalam tubuhku. Aku mulai berlari menuju ke parkiran.
“Aduhh lupa bawa mantel lagi! Terpaksa nunggu sampai hujannya reda kalo gini caranya.” Sekitar setengah jam aku berdiam diri di parkiran kampus sendirian. Sambil bertanya-tanya dalam hati kapan air dari langit ini akan berhenti turun ke bumi. Dan tiba-tiba terdengar suara manis seorang gadis memanggil namaku.
“Nggak bawa mantel ya, Dik?”
Suaranya begitu manis menyentuh hatiku. Segera kutolehkan pandanganku mencari asal suara tersebut. Betapa kagetnya diriku ketika tahu bahwa yang bertanya kepadaku adalah Nana.
“Hei! Kok malah bengong sih, nanti kesambet loh!” Seru Nana yang membuat aku menjadi gelalapan. Aku jadi salah tingkah. Serasa ingin melontarkan kata tapi tak sanggup aku lakukan. Ada apa aku ini?
“Hahaha! Ngga usah gugup kek gitu kali, Dik! Kayak liat artis aja.” Senyuman Nana yang begitu manis membuat hatiku semakin bergetar. Nampaknya wajahku yang memerah membuat Nana tahu kalau aku sedang gugup sekarang.
“Ehh.. Enggak kok, Na!” Jawabku singkat dengan muka tertunduk.
Suasana kemudian hening sejenak. Kemudian aku memberanikan diri untuk membuka percakapan. Masih dengan rasa gugup tapi aku mencoba memperlihatkan jiwa laki-lakiku.
“Kamu Putri Malunya SMA 3 dulu ya?”
“Iya, tapi dulu. Sekarang mah udah bukan Putri Malu lagi. Aku ikut organisasi di sini. Organisasi yang membuatku berubah menjadi lebih berani bicara dan berpikir dewasa. Bosan kali jadi anak pemalu terus, hehe!” jawab Nana panjang, kemudian dia lanjut bertanya.
“Ehh kamu ngga berubah ya, Dik? Masih takut kalo ketemu sama cewek?” Nana balik bertanya ke aku masih dengan senyuman manisnya. Ternyata dia kenal aku waktu SMA dulu.
Kalau Nando mengatakan aku ini adalah anak cupu. Itu sebenarnya memang fakta. Aku dari dulu tidak pernah berani dekat dengan yang namanya perempuan. Beraninya hanya melihat perempuan dari kejauhan tanpa mengenali siapa dia.
Aku hanya terdiam tanpa menjawab pertanyaan Nana. Nana kemudian kembali berkata. Kali ini perkataannya membuat aku lebih terkejut lagi.
“Ini masih deres banget, Dik. Ayo bareng aku aja. Aku ada mantel ini buat berdua. Sepeda motormu titipan Pak Satpam aja! Kosmu kan juga bersebelahan sama punyaku.”
Dalam pikiranku, ini beneran apa cuma mimpi? Kenapa aku nggak tahu ternyata kos Nana deket sama kos-kosanku? Kenapa Nana malah tahu? Bodoh sekali diriku. Kali ini, gadis cantik yang selalu membuat jantungku berdebar berdiri di depanku. Menawarkan untuk berboncengan denganku. Tanpa pikir panjang, aku mengeluarkan kata yang sebenarnya tidak ingin aku katakan tapi hatiku benar-benar ingin melakukan.
“Oke, ide bagus itu!”
Sebenarnya aku malu mengatakan hal tersebut. Ingin aku memutar ulang waktu. Tapi bagaimana lagi, nasi telah menjadi bubur. Akhirnya, untuk pertama kalinya aku merasakan bagaimana rasanya berboncengan dengan seorang gadis. Di perjalanan Nana terus bercerita. Aku terkadang hanya tertawa kecil mendengarkan ceritanya.
Setelah kejadian itu, akhirnya kami memutuskan untuk pulang pergi ke kampus sama-sama. Kami akrab dengan cepat. Aku juga sering mengantarkan Nana membeli barang keperluan Nana, begitu pula sebaliknya. Tidak ada lagi rasa grogi, yang ada sekarang adalah rasa nyaman. Tanpa disangka, kami ternyata memiliki banyak sekali kesamaan. Mulai dari makanan, warna kesukaan, musik, dll. Sampai pada akhirnya aku merasakan jatuh cinta untuk pertama kalinya. Jatuh cinta kepada gadis manis, cantik, dan baik hati. Itulah Nana.
Pada salah satu malam minggu di bulan April aku jadian dengan Nana. Betapa bahagianya hari-hariku kulewati dengan cinta pertamaku. Jatuh cinta memang membuat hidup serasa lebih berwarna. Berharap dia yang akan menjadi pelabuhan pertama dan tekahirku. Nana adalah gadis yang paling dewasa yang pernah aku temui. Dia paham betul tentang diriku. Semakin hari aku semakin nyaman berada didekatnya, begitu pula sebaliknya.
Tak terasa kami sudah berjalan satu tahun. Suka duka telah kami lewati bersama. Namun hal buruk akhirnya datang sesaat setelah Nana meniup lilin kue our first anniversary di rumahnya. Hidung Nana mengeluarkan darah.
“Loh, say! Hidungmu kenapa ngluarin darah?”
Nana kemudian mengusap darah di hidungnya dan tiba-tiba dia pingsan.
“Nana sayang! Bangun, na! Ada apa kamu?”
Saat itu rumah sepi. Hanya ada aku dan Nana. Tanpa pikir panjang aku langsung membawa Nana ke rumah sakit. Sampai di rumah sakit dokter langsung dengan sigap memeriksa kondisi Nana. Setelah memeriksa, dokter membawaku menuju ke ruangannya. Dia menyodorkan selembar kertas kepadaku. Dengan perasaan tegang dan gugup aku coba membacanya perlahan.
“Kanker Otak! Stadium Akhir!” aku berteriak melihat tulisan itu.
“Iya. Sebenarnya penyakit ini sudah lama diderita Nana. Tapi dia enggan diobati lebih serius dan meminta untuk merahasiakannya ke orang lain termasuk kamu dan orangtuanya.”
“Apa dia bisa sembuh, Dok?”
“Sangat kecil kemungkinan untuk dia selamat.”
Aku keluar ruangan dalam dengan muka lesu. Aku lihat kedua orantua Nana kini berada dalam ruangan melihat kondisi Nana. Sebenarnya aku sering melihat Nana pusing, jatuh sendiri ketika berjalan, dan mimisan tapi tidak sampai pingsan. Tetapi setiap aku suruh dia berobat, dia tetap tidak mau dan berkata kalau dia baik-baik saja. Ya Allah, mengapa engkau beri kekasihku cobaan seperti ini. Saat aku benar-benar bahagia dengannya. Saat  aku mantap ingin segera menikahinya. Hari itu hujan sangat deras. Seakan-akan tahu apa isi hatiku. Aku sangat terpukul dengan keadaan ini, begitupun dengan orangtuanya. Aku tidak ingin kehilangan cinta pertamaku.
Hari-hari berikutnya aku temani Nana untuk mendalami kemoterapi. Aku menjaga Nana 24 jam tanpa mempedulikan kondisiku. Yang terpenting adalah kesembuhan Nana. Aku yakin dia bisa sembuh. Nana juga yakin walaupun kulihat keadaannya semakin hari semakin parah. Orangtua dan teman-teman Nana juga sering menjenguknya, memberi motivasi untuk Nana. Tapi kini aku lihat Nana tinggal tulang dibungkus kulit. Wajahnya layu dan berkeriput. Hingga suatu malam Nana mengajakku untuk menuju ke taman Rumah Sakit.
“Dik, terimakasih ya buat semuanya. Kamu orang paling baik yang pernah aku kenal.” Nana berbicara dengan nada pelan.
“Iya Nana sayang. Kamu juga orang paling cantik, baik, sopan, pinter, pokoknya apa aja deh. Jadi kamu harus tetep kuat ya. Kamu pasti bisa sembuh.” Jawabku sambil menahan tangis yang sebenarnya ingin aku keluarkan sejak tadi.
“Dik, kamu baik-baik ya. belajar yang bener. jangan kecewain orangtuamu.”
Entah kenapa aku merasa aneh. Kenapa Nana berbicara seperti itu. Rasa sesak dihatiku kian menggebu. Aku bertanya-tanya kepada Tuhan. Apakah ini sudah tiba saatnya engkau mengambil Nanaku? Aku pasrah dengan semuanya Ya Allah.
“Dik, aku lelah. Aku pinjem bahumu buat tidur boleh nggak?” pinta Nana kepadaku.
“Oke, 5 menit saja yaa?” tawarku ke Nana.
Sudah lebih dari lima menit. Aku coba bangunkan Nana. Tapi dia tidak bangun-bangun. Aku lihat wajahnya kali ini berbeda. Tampak bercahaya dan tenang. Air mata perlahan mulai membanjiri pipiku. Ini benar-benar sudah berakhir. Nana benar-benar pergi jauh. Meninggalkanku menuju dimensi lain. Kenapa secepat ini Ya Allah?
Berat bagiku, berat pula bagi orangtua Nana. Aku tidak akan pernah melupakan Nana. Cinta pertamaku. Dia akan tetap hidup di hatiku. Di lubuk hati yang paling dalam.
“Semoga kamu tenang disana, Na!”


2 comments:

Unknown
16 November 2014 at 18:27

dicoba :D

Unknown
17 November 2014 at 05:43

good

Post a Comment